Salah satu filsuf klasik Aristoteles,yang secara tekun dan jeli telah bergulat dengan berbagai persoalan yang berkembang pada masanya, termasuk persoalan etika dan politik, yang tertuang dalam dua karya monumentalnya, Nicomachean Ethics dan Politics.
Salah satu aspek penting dari politik adalah partisipasi politik, yang dalam pengertiannya warga negara terlibat secara aktif dalam kehidupan negara, publik. Di zaman moderen yang semakin pragmatis ini, orang memakanai politik secara singkat dan sempit karena orang melihat politik hanya berkaitan dengan salah satu aspek tertentu saja, semisal kekuasaan, regulasi, atau hukum dan juga berkaitan dengan manfaat nyata yang diperoleh dari partisipasi politik itu sendiri. Sehingga dengan demikian model hidup politik zaman sekarang ini kurang membantu warga negara untuk hidup bahagia.
Partisipasi politik secara umum diartikan sebagai keikutsertaan warga negara dalam proses politik. Misalnya, pada tahap mana dari proses itu, warga negara hendaknya mulai dilibatkan atau melibatkan diri? Pertanyaan ini pantas dikemukakan karena ada kecendrungan bahwa warga negara hanya dimintai partisipasinya pada tahap pelaksanaan sebuah keputusan atau kebijakan yang telah dirumuskan oleh elite politik itu sendiri. Masyarakat dimobilisasi hanya untuk mendukung dan menyukseskan apa yang sudah diputuskan oleh pihak lain. Pemahaman yang reduksionis ini sesungguhnya tidak sesuai dengan semangat atau inti dari demokrasi yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demokrasi sejatinya mengandaikan keterlibatan aktif warga negara dalam segala tahap kebajikan, mulai dari proses pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Dalam konteks ini, keterlibatan aktif warga dalam seluruh proses politik (Perumusan, Pelaksanaan, dan Evaluasi) merupakan sebuah keniscayaan.
Ketika mendengar kata politik, orang cendrung berpikir tentang siapa yang memutuskan apa yang seharusnya dilakukan negara, waktu berapa lama dan berapa biaya yang dibutuhkan. Dalam arti yang sempit ini, politik hanya menjadi milik kaum elit politik atau orang yang melaksanakan kekuasaan politik karena merekalah yang mendistribusikan dan melaksanakan kekuasaan politik atas nama negara. Sementara itu, sebagian besar masyarakat dianggap sebagai massa mengambang dan hanya diberi kesempatan untuk menggunakan hak politiknya ( berpartisipasi) sekali dalam empat atau lima tahun, dalam sebuah pemilihan umum. Konsekuensi logis dari pemahaman tentang politik seperti ini adalah bahwa warga negara pada umumnya cendrung menarik diri dari politik dan menjadi apatis dalam seluruh aktivitas politis.
Fenomena meningkatnya golongan putih (GOLPUT) di mana orang dengan sadar tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu di berbagai tempat di negara ini. Dalam realitas ini merupakan salah satu bukti nyata keengganan warga untuk terlibat dalam segala sesuatu yang berurusan dengan politik. Warga negara berpendapat bahwa menggunakan hak pilih atau tidak, ternyata tidak ada nilainya atau tidak mengubah nasih hidup mereka sehari-hari.
Orang yang bijaksana dan baik akan dengan sendirinya mengabdikan bagian terbaik dari dirinya untuk berkontemplasi, tetapi dia juga membutuhkan kehadiran orang lain dan juga sebuah negara untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih manusiawi. Karena itu, isu yang paling penting bukanlah bagaimana kebajikan moral dikaitkan dengan kontemplasi politik dalam pelaksanaan kebajikan moral itu sendiri. Karena seorang warga negara yang baik adalah orang-orang yang mengoptimalkan kemampuan rasionalnya untuk mencapai hidup yang terbaik, dia akan mengatur cara hidupnya atas pertimbangan rasional tentang tujuan hidupnya dan interase yang akan mendatangkan kebahagiaan.
Dalam sebuah konteks politik seperti ini, filsuf klasik Aristoteles menyatakan bahwa politik adalah master science,karena beberapa alasan berikut ini. Pertama, politik menentukan ilmu ilmu apa yang harus dipelajari dalam sebuah negara. Kedua, politik menentukan kelompok warga negara mana yang harus mempelajari ilmu ilmu tersebut. Ketiga, politik menggunakan ilmu ilmu lain seperti ilmu strategi, ekonomi,retorika, dan lain lain. Politik menjadi sangat variatif dan kaya kalau terdiri dari orang orang ahli dalam bidang yang berbeda-beda. Keempat, politik mengatur apa yang harus dibuat dalam sebuah negara.
Di samping alasan-alasan di atas, Aristoteles juga menilai kebaikan politik dari aspek sasarannya. Menurutnya, adalah lebih baik untuk memperoleh kebaikan bagi sebuah kota sebagai keseluruhan dari pada memperoleh kebaikan untuk orang perorangan. “Bagi rakyat, politik bukan urusan koalisi atau oposisi tetapi bagaimana kebijakan publik mengubah hidup sehari-hari”,-Najwa Shihab.
Ilmu atau keterampilan yang diarahkan untuk memperoleh kebaikan tertinggi adalah politik. Tetapi, catatan yang perlu diperhatikan di sini supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman adalah politik merupakan kebaikan yang tertinggi, tetapi hanya merupakan ilmu yang mengarahkan manusia kepada kebaikan tertinggi. Jadi, politik hanya sebagai instrumen bagi manusia untuk memperoleh kebaikan tertinggi.
Kesimpulan,
Konsep pemerintah demokrasi partisipatif deliberatif mengandaikan bahwa membuat keputusan merupakan kemampuan khas para pelaku politik, yang adalah semua warga negara dan bukannya hanya elite politik. Arendt menekankan bahwa kemampuan warga negara untuk berbicara, berdiskusi, memutuskan, dan akhirnya bertindak bersama, demi mempertahankan komunitas yang merupakan hasil ciptaan bersama karena adanya tibdakan dan pembicaraan. Justru kemampuan inilah yang sering kali diabaikan oleh pemerintah dengan anggapan keliru bahwa masyarakat apolitis, tidak tahu banyak tentang persoalan-persoalan publik.
Seiring dengan era globalisasi, penekanan hendaknya pada substansi demokrasi,di man kekuasaan atau kewenangan masyarakat untuk merumuskan dan melaksanakan kehendak mereka hendaknya diseimbangkan dengan kekuasaan negara. Ide seperti inilah yang sedang dihidupkan kembali dengan adanya civil society ( masyarakat warga). Masyarakat warga muncul karena adanya dorongan untuk menciptakan hubungan simetris antara masyarakat dengan institusi politis demi terciptanya demokrasi. Demokrasi akan berlangsung secara baik kalau negara dan masyarakat memiliki kekuasaan yang seimbang. “Politik bukanlah perebutan kekuasaan bagi partainya masing -masing, bukan persaingan untuk menonjolkan ideloginya sendiri-sendiri tetapi politik untuk menyelamatkan dan menyelesaikan revolusi indonesia”,Ir. Soekarno.