Selasa, 05 Juli 2022

SEGHI RE’O

Pada zaman dahulu, hiduplah dua kakak beradik yang bernama Pali dan Lela. Keduanya adalah anak yatim piatu yang tinggal di daerah Fi’u. Yang tertua adalah Pali sedangkan Lela adalah adiknya. Sejak ditinggalkan oeh kedua orang tua, mereka hidup rukun dan saling mengasihi. 
Kedua kakak beradik itu mendapatkan warisan dari orang tua mereka berupa dua bidang tanah, yang satu terletak di Ra tepatnya di wilayah kampung Dona, sedangkan yang satunya terletak di Fi’u di bagian barat kampung Doka Redu. Mereka bekerja bersama-sama di kedua bidang tanah warisan itu tanpa dibagi terlebih dahulu.
 .aktu terus berlalu, musim tanam pun tiba. Malam itu Pali dan Lela mempersiapkan bibit jagung untuk ditanam di Ra. Keesokan harinya Pali dan Lela berangkat menuju Ra untuk menanam jagung di kebun yang sudah mereka persiapkan itu. Keduanya bekerja dengan sungguh – sungguh dengan harapan seharian itu kebun yang luas dan lebar bisa ditanami semua. Harapan keduanya pun berhasil. Pekerjaan pun sudah selesai dilaksanakan. Hari semakin sore, keduanya bersiap pulang menuju Fi’u di sa’o yang menjadi tempat tinggal mereka berdua. Sesampainya di sa’o seperti biasanya mereka melaksanakan tugas masing – masing, yang kakak mengurus makanan babi, sedangkan sang adik mempersiapkan makan malam. Ketika makan malam berlangsung, Lela mengatakan kepada kakaknya, “kae hae mena kita tuza gea gha, kita bhodha dua nuka ge leza la nga, go kata tuku gare moi”. “Molo, ka gea kita hele aze wi tau modho, sei be’o nge dhapa go kata, “ kata Pali. Selesai makan keduanya mulai menyiapkan tali jerat, setelah semuanya selesai keduanya beristrahat. Keesokan harinya, pagi-pagi , keduanya berangkat menuju Ra untuk memasang jerat. Setibanya di sana mereka melakukan pekerjaan sesuai yang direncanakan. 
Dua hari kemudian Pali dan Lela menuju Ra untuk memastikan apakah jeratan yang di pasang berhasil. Sesampainya di sana mereka berdua bergembira karena jerat yang dipasang membuahkan hasil. Jerat yang dipasang Pali berhasil mendapat seekor ayam hutan jantan, dan jerat yang dipasang Lela berhasil mendapat seekor ayam hutan betina. Kali ini mereka berhasil mendapat sepasang ayam hutan. Hasil jeratan itu kemudian diikat dan keduanya bersepatkat untuk memeliharanya. Hari semakin sore, keduanya kembali ke Fi’u. Kedua ekor ayam hutan itu selalu dibawa kemana saja mereka pergi. 
Kira – kira seminggu lamanya mereka memelihara hasil jeratan itu, Pali mengatakan sesuatu kepada Lela. Katanya, “Lela, ngae gazi manu kau kobe dewe”. Mendengar apa yang dikatakan Pali, Lela pun menolak permintaan itu, “Ma’e! Dia jao wi tau go bibi”. Pali pun menyahut,”Ohh mali kau tau bibi, go manu lalu dena. Robha zee kita laa modho wai manu moka puu ine da me’a nee manu jao dia ”. Pali pun masih mencari alasan agar malam itu ayam hutan adiknya harus dibakar. Setelah mendengarkan pembicaraan kakaknya Lela bersedia, ayam hutan betina piaraannya dibakar untuk dimakan malam itu. 
Sesuai yang dijanjikan Pali, keesokan harinya mereka berdua kembali ke kebun untuk memasang jerat dengan harapan mendapatkan ayam hutan betina buat adiknya. Seminggu tepat mereka memasang jerat namun tidak mendapatkannya. Lela mulai marah kepada kakaknya, “ Jao punu go manu jao ma’e ngae, dina go modho kita nenga semigu bhai dhapa!” Ketika sedang berbicara dengan nada tinggi, tiba – tiba turunlah hujan lebat, mereka berdua masuk dan berteduh di pondak buatan mereka di kebun itu. Walaupun adiknya marah, sang kakak tetap menenangkan sang adik. “Robha kita mai modho wai,” Lela pun terhibur dengan kata-kata kakaknya. Ketika hujan redah, keduanya pun kembali menuju Fi’u. Sampai di wae Nanga mereka harus melewati sungai yang deras. Di situlah timbul niat buruk sang adik untuk melenyapkan sang kakak hanya karena jeratan yang tidak kunjung berhasil. Dalam hatinya ia berkata, “Kau mata dina!”. Ketika hendak menyeberangi kali tersebut Pali menyuruh Lela untuk lebih dahuli menyebrang , tapi Lela beralasan, “Kau olo, jao we dheo go bheto dia,”. Kali ini Pali menuruti kemauan adiknya, dan dia mendahului menyeberangi kali itu dengan berjalan di atas jembatan bambu dengan ayam hutan jantan piaraannya yang diikat di tangan kanannya. Ketika Pali sedang berada di tengah jembatan bambu, Lela menarik bambu, ketika itu juga Pali terjatuh dan terseret arus air yang deras itu sampai di Sere tepat di sebelah kampung Doka Redu. Tanpa disadari ayam hutan terlepas dari tangan Pali, dengan cekatnya ayam hutan itu terbang menyelamatkan tuanya dan membawanya ke darat di seberang kali itu. Ayam hutan mengibas – ngibas sayapnya dengan maksud menyadarkan Pali . Pali pun sadar. Keduanya beristrahat sejenak, kemudian Pali menyusuri pinggir kali untuk kembali menemui adiknya yang berada di seberang kali. Sesampainya di tempat kejadian itu, Lela pun kaget melihat kakaknya. Karena pikirnya Pali sudah hanyut terbawa arus air. Sekedar untuk berbasa basi, Lela berkata, “Pali, ma’e naji. Jao bhai nge laka gau. Go wae lala bai meze. Kau nge muzi dele moedena?”. Pali menjawab dan tidak mengatakan bahwa yang membantunya adalah ayam hutan piaraannya,”Jao da se’e we go kabu kaju”. Dalam hati Lela menyesal karena usahanya tidak membuahkan hasil. 
Dengan niat baik Pali kembali mengajak Lela untuk kembali ke sa’o, “Lela mai gita wado lau sa’o”. Namun Lela menjawab dengan kata-kata sumpah, “la’a me’a gau muzi kita kae azi moi meta wae Nanga dia, ngaza uza mena Ra moi meta leko dia, pe zae moi dhapa da lobo, ngaza uza pu’u zae Fi’u moi meta leko dia pe mena moi dhapa da lobo”. Mendengar ucaan adiknya itu Pali terkejut. Pali pun tidak putus asa, dia kembali meminta adiknya untuk kembali, “ Lela mai gita wado”. Mendengar ucapan kakanya itu, Lela berkata lagi, “Pege leza dewe, go uma lau Fi’u tii gau, dia Ra go nga’o”Akhirnya mereka berpisah. 
Kini genaplah sebulan Pali hidup sendiri, setiap hari dia hanya bersama ayam hutan piaraannya. Suatu hari Pali meyakinkan dirinya bahwa ayam hutan piaraannya itu adalah titipan nenek moyangnya yang datang untuk membantunya. Karena menurut dia sudah terbukti ayam hutan itu bisa menyelamatkan dia dari maut. Ketika bulan Desember, saat bersamaan sedang berlangsung reba Doka. Kebiasaanya reba Doka selalu ada kusu bu’e. Malamnya Pali merencanakan sesuatu, karena dia tau yang menjadi kusu bu’e pada reba Doka kali ini adalah Seghi Re’o seorang gadis cantik keturunan rang atas, dia ingin Seghi menjadi istrinya. Malam itu juga dia meminta ayam hutan piaraanya, katanya,”ngaza kau ebu jao robha kau la’a dao Seghi Re’o eta Doka, ze Nua Tara Nage remo robha hoga da dhoro reba”. Ayam hutan itu pun berkokok tiga kali tanda bersedia
 Keesokan harinya Pali memberi makan dan minum untuk ayamnya. Setelah itu, ayam hutan melaksanakan perintah tuannya untuk pergi menangkap Seghi Re’o di kampung Doka. Si ayam hutan itu terbang menerobos awan untuk sampai di kampung Doka. Akhirnya dia pun sampai di kampung Doka, tepatnya di Nua Tara Nage, dengan keberanianya dia langsung hinggap di pohon beringin yang ada di kampung itu, namun jarak antara pohon beringin dengan tanah masih teramat jauh, untuk mendekatkan jarak dia pun turun dan hinggap di kepala Madhu Jawa Tena. Kini jaraknya sudah semakin dekat. Saat yang bersamaan juga ana lalu jati muncul, dengan Seghi Re’o sebagai kusu bu’e. Saat itu Seghi Re’o mengenakan pakayan adat lengkap, seperti lawo wa’i jara, kasa sese, medo, rabhe kobho, wea tebu lima zua, lega jara, oka rika, topo badi dhapi dhupa,rombongan itu keluar dari sa’o are untuk melakukan ritual di watu Sina Mai, sebelum melakukan acara lole tewu.Dalam upacara itu semua orang kampung tidak diperbolehkan menyaksikan secara langsung, tapi hanya diperbolehkan melihat dari dalam rumah, sebab anatara ana kusu bu’e dan warga kampung tidak boleh bertemu langsung, jika bertemu maka ada saja risiko yang ditanggung sendiri.
Saat upacara kusu bu’e baru dilakukan di Watu Sina Mai tiba – tiba ayam hutan itu terbang dan menangkap Seghi Re’o. Orang – orang yang tergabung dalam kelompok lalu jati pun berteriak sambil meminta tolong. ” Tolong..tolong..tolong..tolong..riwu lama dhoro, Seghi Re’o dia go manu da dhada nea gha. O..ema.. ema Re’o lama mai ngedho ana kau dia. Seluruh isi kampung Tara Nage pun keluar. Warga kampung Tara Nage menjadi panik dengan kejadian itu. Sementara Ema Re’o ayah dari Seghi yang menjadi kepala kampung itu, meminta warga kampung untuk menangkap ayam itu. Katanya, “o..riwu miu geme manu kena, o..ana jao..o..ana jao, o..riwu geme manu kena”. Semua warga berusaha menangkap ayam hutan yang hinggap di kepala Madhu Jawa Tena namun tidak berhasil, ayam hutan itu terbang bersama Seghi yang ada dicengkramannya itu dan bertengger di dahan beringin, warga kampung pun terus berusaha untuk menangkap. Ranting beringin dipotong dengan maksud supaya ayam hutan itu bisa jatuh, namun dengn cekatnya dia berpindah dahan dan Seghi masih erat dicakarnya. Kini sisa satu dahan lagi dan ayam hutan itu tidak bisa berkutik, tinggal selangkah warga menangkapnya, akhirnya ayam hutan itu dengan eratnya mencengkram Seghi dan terbang tinggi ke langit menuju ke arah Fi’u. Usaha warga kampung pun sia – sia. Ema Re’o bersama istrinya dan seluruh warga kampung hanya berteriak sambil menangis. Terhitung mulai hari itu ema Re’o bersama istrinya berkabung. Keluarga besar di kampung Doka pun pasrah akan keadaan dan tidak melakukan upaya pencarian.
Pali yang menunggu di Fi’u semakin gelisah karena sudah semakin sore ayamnya tidak kunjung datang. Perjalanaan jauh dan melelahkan membuat ayam hutan itu harus berhenti beberapa kali, sedangkan Seghi Re’o sudah paasrah. Hari sudah semkin sore, Pali kian gelisah degan ayam hutan piaraanya yang tidak kunjung datang. Dalam kegelisahanya itu, tiba – tiba atap rumahnya bergoyang. Pali pun keluar dengan penuh keyakinan bahwa gadis pujaannya telah tiba.
meyakinkan bahwa gadis pujaannya sudah tiba. Ayam hutan itu pun menurunkan Seghi dari atap rumah adat menuju teda mo’a. Pali membantunya dan memindahkan Seghi ke teda one. Saat itu Seghi tidak sadarkan diri. Pali menukar pakaian yang dikenakan Seghi dengan kain peninggalan ibunya. Semua perlengkapan yang dipakai Seghi dietakan di dalam wadah sole. Beberpa saat kemudian, Seghi pun sadar. Dia terkejut melihat Pali di hadapannya. Katanya, “ Siapa kamu? Saya di mana? Di mana pakaian dan perhiasan saya? Mengapa saya di sini?” Pali pun menjelaskan siapa dirinya, dan mengapa Seghi bisa berada di rumahnya seraya menunjukan tempat di mana pakaian dan perhiasannya disimpan. “
Hari demi hari berlalu, Seghi dan Pali hidup bersama. Sehari-hari Pali bekerja di kebun, sedangkan Seghi Re’e tingga di rumah sambil menenun dan memberi makan ayam dan babi. . Hasil tenunannya pun sudah banyak. Hasil kebun berlimpah, babi dikandang berkembang biak. Menjeang musim Reba, Seghi teringat akan orang tua dan peristiwa yang menimpanya setahun yang lalu. Di Doka, warga kampung melaksanakan upacara reba, meski Ema Re’o mori buku gua masih berkabung. 
Ketika Pali masih di kebun, Seghi menyuruh babi piarannya untuk membongkar uwi mata tewi milik bapaknya di Genga, di seputaran Wolokuru. Sebelum babi itu pergi, Seghi memasang anting dari bulu kambing di kedua telinga babi dan menyiram tubuh babi dengan abu dapur. Setelah semuanya selesai, Seghi pun berkata kepada babi itu, “ngaza kau ebu jao, dina kau la’a pe eta Gengga, kau la’a bhoi masa uwi mata tewi ne’e go tewu ema jao mena, bhoi moi kau dere sai da mori ngodho, ngaza mori ngodho kau rongi da lako, lako nga peko gau kau paru, lako meza kau rongi wai, kau rongi ghera sai peja wado dia wewa sa,o dia na. Babi pun mengangguk – angguk tanda setuju, dia mulai menjalankan tugasnya. Sesampainya di sana, si babi mulai menjalankan tugasnya membongkar uwi mata tewi. Warga yang melihatnya segera melaporkanyya pada Ema Re’o. Setelah mendengar apa yang disampaikan oleh warga kebun tetangga itu, Ema Re’o menyuruh kedua anak buahnya yaitu Deku Denu dan Kungu Dhobo untuk pergi mengabil uwi mata tewi di Genga sekaligus mengejar babi hutan itu. Pagi buta mereka berdua sudah berada di kebun itu dengan ditemani kedua ekor anjing piaraan Ema Re’o. Ketika memasuki kebun, mereka berdua terkejut dengan semua isi kebun yang telah dibongkar oleh ulah babi hutan suruan Seghi. Kedua ekor anjing itu pun mulai mengejar babi itu, Deku Denu dan Kungu Dhobo juga melakukan pengejaran. Pengejaran terus dilakukan. Merka pun sampai di Watu Ngaja. Deku Denu dan Kungu Dhobo, terus mengikti kedua ekor anjing itu. Mereka berdua menyusuri hutan, kali, gunung, dan jurang . Melewati Watu Ngaja, menuju Watu Laga Poso, ke Wae Bua, menyusuri Wae Me Ngete, ke Bo Gego, sampai Ngedu Kaba, menuju Mala Were, tiba di Seso Olo, namun anjing terus melakukan pengejaran menuju Leko Me Dheghe sampai di Fi’u dimana tempat Seghi hidup bersama Pali. Hari sudah semakin siang, ema Re’o sudah semakin gelisah kenapa mereka berdua tidak kunjung kembali untuk memebawa uwi mata tewi yang dipersiapkan malam nanti untuk acara su’i uwi. Ema Re’o semakin marah dan mengancam kalau samapai malam tidak kunjung datang maka mereka berdua akan dibunuh.
Deku Denu dan Kungu Dhobo berjalan dengan hati – hati menyusuri suara anjing yang tiba – tiba diam di depan sebuah rumah adat. Anjing yang tadinya beringas seakan menerkam babi, namun sekarang berubah menjadi jinak dihadapan seorang perempuan. . Dengan hati – hati mereka berdua mengahampiri orang itu. Deku Denu berkata kepada Kungu Dhobo, “ Dhobo... kau ngedho anafai kena, kezi ghera ine kita Seghi ”. Dalam hati kecilnya Deku Denu meyakini bahwa orang itu adalah Seghi. Deku Denu Mendekati wanita itu dan berkata, “Ine kau peko nea go lako kami kena, kami nga wado, mori kami eta da dere, ngaza ine bhai peko lako kena mori kami nge wela nea gami.” Seghi mengusir anjing-anjing itu namun anjing tersebut malah mendekat dan menjilat tangan Seghi. Melihat hal itu, Deku Denu dan Kungu Dhobo semakin heran. Seghi menyadari bahwa kedua orang itu adalah anak buah bapaknya. Seghi mempersilakan mereka masuk dan duduk di teda mo’a. 
Beberapa saat kemudian, Seghi memanggil suaminya, dan menyampaikan bahwa ada tamu di rumah. Pali pun pulang ke rumah dan menyapa serta saling berkenalan dengan Deku Denu dan Kungu Dhobo. Keduanya menceritakan kronologi mereka bisa sampai di rumahnya itu. Sementara itu, Seghi menyiapkan makanan untuk menjamu kedua tamu mereka. Setelah makan bersama, Deku Denu dan Kungu Dhobo berpamitan untuk segera mengambil uwi mata tewi di Genga yang jaraknya sangat jauh. Kata Deku Denu, “ Doa kami wado zi’a. Kami we gae go uwi mata tewi bodha leza dewe mema. Mali bhai ema kami nenga wela gami” Mendengar perkataan Deku, akhirnya Pali menyahut, “ mai keta degha zia sebhoe” Akhirnya kedunya diajak lagi oleh Pali menuju ulu rongo. Keeduanya sangat terkejut ketika mereka melihat seekor ayam jantan besar bertengger di atas ulu rongo itu. Melihat kebeingungan pada wajah kedua tamunya itu, akhirnya Pai menjelaskan mengenai ayam itu. “ Manu dia jao da supu we laa dao Seghi Re’o puu dhoro reba da galo” Kemudian Pali mengambil sole yang berisi pakaian dan perlegkapan Seghi Re’o saat baru datang. Setelah melihat semuanya, akhirnya mereka percaya bahwa wanita itu adala Seghi Re’o anak tuannya di kampung Doka. 
Hari semakin sore. Sebelum keduanya pulang, Seghi menyiapkan makanan berua nasi dan daging babi disimpannya dalam bere, begitu pula Pali menyiapkan moke arak dan dituangkan ke dalam taso. Setelah semuanya siap, Seghi mengatakan kepada mereka,”Maki, hui, nee tua dia miu idi ghera ine ne’e ema jao,miu dheo ne’e oka rika dia la’a tota ema jao eta, ngaza miu bhai tota ne oka rika dia ema jao nge wela miu, pu’u miu la’a bai medo kata. Selain itu Seghi pun menyiapkan ba’o untuk menyimpan uwi mata tewi di Gengga nanti. “Ma’e rebho ne’e go ba’o di, nuka pu’u dia miu ghera mena Gengga la’a ala uwi we toge tau kobe su’i”, kata Seghi. Kemudian Pali juga meyampaikan sesuatu pada mereka berdua,”peja eta Doka miu punu ame ka’e, Seghi dia wo muzi, reba dhoro miu dua pai dia kita we soro mazi”. Setelah mendengarkan pesan dari Seghi dan Pali mereka berdua bergegas pulang dengan membawa nasi dan daging beserta moke. Setibanya di Gengga hari sudah semakin gelap, mereka berdua langsung mengambil uwi mata tewi dan membungkusnya di b’o, dan mereka bergegas menuju kampung Tara Nage. 
Malam semakin larut, Deku Denu dan Kungu Dhobo belum juga sampai di kampung. Warga semakin marah pada ema Re’o. Mereka takut reba akan batal. Ema Re’o yang mendengar amukan warga menjadi geram. Dia memegang sebliah parang untuk membunuh kedua anak buahnya bila datang nanti. Tiba-tiba amukan warga berhenti. Mereka melihat dua ekor anjing ema Re’o datang bersama Deku Denu dan Kungu Dhobo. Warga kembai ke rumah masing-masing untuk persiapan reba. 
Deku Denu dan Kungu Dhobo langsung menemui Ema Re’o sambil membawa ba’o, bere, oka rika, dan taso. “ema, kau ma’e wea gami. Kami mu’a gha nee ine kami Seghi Re’o. Kazi woo muzi. Dia kami idi nee go oka rika, dhapi maki nee hui pu’u zili Seghi. Mendengar itu, Ema Re’o sangat bahagia. Deku dan Kungu menyerahkan semua barang itu kepada Ema Re’o sebagai bukti bahwa keduanya benar-benar sudah bertemu Seghi Re’o. Deku Denu menceritakan semua yang terjadi sampai mereka bertemu Seghi dan akhirnya kembali ke Tara Nage. 
”Ema..hoga zili mori zua da lese, reba dhoro kita dua pe zili, kita we la’a mazi go buku adha. Mendengar cerita itu, ema Re,o keluar dari sa’o dan menyampaikan kepada warga kampung,”o...isi Doka, kobe dina kita su’i uwi, robha ze’e kita dhoro reba, ana jao Seghi wo’o muzi, wengi zua kita dua zili Fi’u raba mazi go buku adha ana jao ne Seghi”. Dengan adanya berita tersebut ema Re’o bersama istrinya tidak lagi berkabung, karena bahagia anaknya masih hidup.
Sesudah dhoro reba, ema Re’o dan istrinya bersama warga kampung Doka dengan membunyikan gong dan gedang menuju Fi’u untuk membicarakan adat anaknya. Sesampainya di Fi’u mereka diterima oleh warga kampung Doka Redu yang datang membantu Pali dan Seghi untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk kelancaran acara itu. Sebelum masuk sa’o semua orang yang datang itu diberi sapu lu’e dan lawo wa’i jara Seghi. Dari hasil pembicaraan itu, akhirnya semua tanah yang berada di daerah Fi’u menjadi hak milik suku Genga .  
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

OPINI OLEH MATHEUS LALU SELANJUTNYA, APA TINDAKAN PALESTINA UNTUK MEMBUJUK FIFA AGAR PILDUN U-20 TETAP DILAKSANAKAN DI INDONESIA?

Rencana mau menyaksikan Timnas Indonesia u-20 berlaga di tanah air sendiri walaupun melalui layar kaca kini pupuslah sudah. Berk...